Ayahdi mana engkau berada. Di sini aku merindukan mu. Mengiginkan untuk bertemu. Merindukan akan belaian mu. Kasih sayang mu selalu ku rindukan. Engkau selalu hadir dalam mimpi ku. Mimpi yang begitu nyata bagiku. Mengiginkan engkau untuk kembali. Aku selalu mengharapkan engkau hadir. Cerpen Berjalan Menjalani Panjang jalan di depan membentang dihamparan masa depan. Panjang jalan di belakang, kisah lalu dalam lembaran sejarah untuk dasar melangkah. Aku jejaki panjang jalan yang kisahnya masih menunggu kehadiranku. Meneruskan jalan panjang kisah lalu, karena aku adalah anak sejarah. Melewati masa kini, dan aku tinggal pergi. Aku kejar masa depan bersama perjalanan waktu. Kini kaki terus melangkah. Tak henti walau pandangan berat, terbebani. Juangnya adalah harap impian tercapai. Langkah yang panjang harus terbekali ketekunan dan kesabaran. Melewati sekumpulan manusia yang turun-naik dari kendaraan angkutan umum. Mendapati sekawan lama yang terlahir sebagai manusia. Ia adalah sekawan satu masa denganku. Aku sapa ia. “Hai, pergi?” “Hai juga. Iya. Kau pulang?” “Iya, Pulang.” Terlewatkan. Aku lewatkan karena perjalananku sendiri yang terasa individu. Sangat individu. Impian pun berbeda. Perjalanan sejatinya niat keindividuan kita untuk menjalani kehidupan. Aku pandang. Berjejeran pedagang. Bertempat di kios-kios. Terlihat laris. Laris manis. Untung walau tak melimpah. Ada pula yang tak laris. Betapa kehidupan yang berjalan dan berjalannya kehidupan adalah seucap kata “uang”. Pedagang yang berjejer adalah buktinya nyata, mereka butuh “uang”. Sampai duduk mematung, menunggu pelanggan atau pembeli baru sampai larut malam, buktinya nyata mereka butuh uang. Mereka tak lagi memandang ilmu apa yang di dapat. Mereka lebih memandang “seberapa mampu mendapat uang?” Sungguh mereka senang bila keuntungan melimpah ruah. Tapi ini hanya pedagang kecil? Kemampuan pun kecil. Mungkinkah? Berjuang. Terus berjalan penuh perjuangan. Hidup bukanlah perjuangan belaka. Hidup adalah perjalanan jiwa dan raga yang di dalamnya terselip perjuangan yang akan tetap mampu menggerakkan jiwa dan raga. Sehingga keberhasilan dalam perjalanan adalah kebahagiaan tiada tara. Mengingat perjuangan menggapainya yang bersusah-susah, berlelah-lelah, tersedih- sedih. Menjumpai dan melewati. Terus menjumpai dan terus melewati setiap kisah kehidupan. Kini kaki hinggap pada pemandangan sekolah. Terdapat sekumpulan siswa korban aturan kedisiplinan. Di luar sekolah berkumpul para pelajar malas atau bernasib sial. Menunggu di luar sekolah sembari sebatang rokok terhisap oleh banyak siswa seakan inilah “kedewasaan sejati”―dan pedagang pun diam tak punya urusan. Terlihat, seorang siswi dalam kegiatan berhias diri, melihat cermin tak henti seakan inilah “penampilan sejati”. Terlihat sepasang pelajar memadu kasih. Potret pendidikan warisan pendahulunya masih melekat membudaya. “Ah... aku jadi teringat di masa SMA. Dan teringat selalu di waktu itu. Ingatanku masih pulih. Mungkin karena sekolah selalu mendidik pada kegiatan menghafal.” Lalu perjalanan kaki membuatku menutup kembali kisahku yang dulu. Aku beralih pandang menatap kisah kehidupan yang lain. Ia hampir menyikut perjalanan kehidupanku. Aku terkejut. kaget. Ketakutan. Biar aku takut! Inilah kemanusiaan. “Dasar pengguna jalan yang tak beraturan! Peraturan lalu lintas hanya kisah lalu! Bedebah kau!” aku geram. Aku rekam kejadian itu. Itu kejadian buruk untukku. Aku jadikan sebagai pelajaran. Kembali aku lanjutkan. Lelah. Lelah dalam hidupku. Betapa kehidupan adalah perjalanan yang melelahkan. Jenuh. Apalagi di tambah ulah usil manusia yang tak beraturan. Makan hati. Lelah jiwa dan ragaku. Aku pelankan langkah. Langkah dalam pelan. Menenangkan keadaan dalam perjalanan hidupku. “Ada yang mau bantu aku?” Tapi semua diam. Tak ada yang menanggapi. Tapi karena memang aku hanya diam. Tak meminta belas kasihan. Sehingga semua itu harus berawal dari seucap mulut. “Tapi aku berikan bahasa isyarat pada orang-orang yang melewati perjalananku. Aku dalam lunglai, lelah. Mengapa mereka tak membaca isyarat bahasa tubuhku? Ah, mereka sudah tak peka dalam kehidupan kesosialannya. Mengapa harus berawal dari seucap mulut? Ah, Sudah lah,” gumamku. Aku tetapkan tekad berjalan walau dalam lelah. Berjalan untuk menjalani kehidupan. Karena kita tidak akan hidup bila tak ada perjalanan. Bahkan setelah mati pun kita menempuh perjalanan baru yang melelahkan untuk menjalani kehidupan akhirat. Jarak sudah makin menjauh dari belakang jalan. Aku telusuri tiap-tiap rumah. Sengaja melihat salah satu seindah rumah. Rumah tokoh masyarakat. Terkejut! Aku terkejut menatap dalam kesadaran. Memang aku terbiasa melewati pemandangan rumah ini. Tapi ini terkejut! Tak seperti biasa. Ini hal yang luar biasa. Entah jalur resmi atau jalur asal jadi. Ia memanjakan dua kekasih diteriknya matahari. Menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua istri. Panas bertambah panas dalam hati. Entah lah. Yang jelas dua istri itu tunjukkan wajah tertawa. Mungkin terselip cemburu yang tertahan, tak terungkapkan. Entahlah. Yang jelas aku yang panas, cemburu. Kekasih satu pun tak ada di sampingku. Sehingga aku tetap berjalan dengan kesendirian. Tak apa lah. Haus. Lapar. Mereka menyerang tubuhku. Tak ada kata menunggu. Tapi tubuhku harus menunggu. Perjalanan masih lah jauh. Lumayan perjalanan dalam kejauhan. Keringat di punggung pun belum sempat aku keringkan. Tunggulah tenggorokan, tunggulah perut. Kalian akan segera terisi. Karena aku mengerti. kehidupan adalah rutinitas makanan dan minuman. Perjalanan menatap keramayan. Pertunjukkan? Bukan. Kegiatan tradisi. tradisi tujuh bulanan. Ia, itu benar. Tradisi tujuh bulanan hasil kolaborasi yang entah bagaimana asal mulanya. Selametan untuk si cabang bayi yang sudah menjalani kehidupan di ruang rahim selama tujuh bulan. Terlihat si ibu cabang bayi bermandikan air bunga. Bercampur dengan air tujuh sumur yang terpilih. Bercampur pula dengan bunga tujuh rupa. Entah bunga apa saja. Sembari diiringi puji-pujian, solawatan yang dilakukan para ibu-ibu. Disambut anak-anak, remaja, orang tua dan dari segala umur untuk meraup uang receh yang bertaburan. Huft... teringat waktu aku masih kecil. Tapi sekarang sudah dewasa. Sudah menjadi mahasiswa. Memiliki malu pula. Karena mahasiswa sudah di cap sebagai orang kritis. Padahal aku tidak. Tak henti-henti omongan orang dewasa yang berstatus mahasiswa melontarkan kritik pada tradisi hasil kolaborasi. Tapi aku tak menghiraukan. Aku malas membalas kritik. Yang penting, suasana hati meriah bahagia karena tradisi. Seakan ingin kembali ke masa kecil. Menjalani tradisi nusantara dengan polos dan lucu. Pemandangan meriah. Berubah. Entah cerita ini telah diatur sedemikian rupa atau memang tak disengaja. Yang jelas terlihat dua remaja berkelahi. Yang satu dari anak priayi yang satu lagi dari anak santri. Suatu pemandangan yang tak adil. Tak ada kuasa membalas bagi anak santri. Tapi bertubi-tubi anak priayi menghabisi. Akankah sampai terbawa-bawa tingkat derajat? Sehingga yang berderajat rendah mengalah, kalah. Ataukah karena ia tak berani? Ia seorang diri. Takut terancam di kemudian hari. Tapi yang jelas beberapa pemuda langsung memisahkan. Hanya cucuran darah anak santri yang masih berjalan melewati tiap pori-pori. Mengerikan. Lupakan. Tak penting. Perjalanan semakin mendekati masa akhir. Tapi kini melewati tempat manusia yang terpendam dalam tanah. Karena mati. Tentu. Bukan karena hidup. Aku berjalan sendiri. Suasana kembali sunyi. Tapi aku menikmati suasana ini. Memang tempat orang mati pantas dijadikan perenungan diri. Akan seperti apa kita nanti? Aku teringat Ayah. Ia meninggalkan perjalanan kehidupan bersamaku, bersama satu adikku, dua kakakku, pula meninggalkan perjalanan kehidupan bersama ibu tercinta... Waktu itu aku masih SMA. Aku berikan seucap salam untuk ahli kubur ini, pula kirimkan doa untuk ayah. Biarlah pengiriman doa untuk orang lain di lain waktu saja. Aku sedih. Tapi harus hilangkan sedih segera! Ya, Betul! Aku harus tegar! Dekat kuburan, sebelahnya terdapat gundukan sampah. Bau menyengat. Aku merasa terganggu. Suasana tenang, nyaman seakan kini terusik. Sampah! Dasar sampah! Masyarakat sering kali menjalani kegiatan menyampah ke tempat ini. Entah sudah berapa kali masyarakat mengulang- ulang perbuatannya. Sampai kini, gundukan sampah makin menggunung tak terurus. Ini telah menjadi sampah masyarakat. Dan aku membandingkan sekumpulan manusia mati dan sekumpulan sampah. Aku pun tertawa geli dalam hati, “Hahahahaha...” Mungkin sama. Perbedaannya hanya pada jiwanya. Tapi, bila jiwa seperti sampah, bagaimanakah? Entah lah. Pemandangan kerinduan terlihat. Akhirnya impianku tercapai. Masuk istana keluarga. Aku makin merasakan siksa dari tema tentang “haus dan lapar”. Aku segera masuk. Aku segera membereskan keadaan yang masih berbau dunia perkuliahan. Segera aku menjalani bekal diri untuk menyambut peristirahatanku. Agar dunia impian nampak indah. Kini aku semakin merasakan tak kuat dalam kesadaran. Aku rebahkan tubuhku. Pelan tapi pasti aku tak sadarkan diri dari kehidupan dunia. Aku pergi ke dalam kehidupan lain. Nampak begitu berbeda. Dan dalam kehidupan baru, aku tetap bisa menjalani perjalanan kehidupan dengan baik karena terbekali makanan dan minuman. Share Sesampainyadi kaki gunung kami langsung pergi mendaki. Saat di perjalanan kami harus berhati-hati, karena ini alam bebas. Kami harus menjaga sikap dan pembicaraan. Waktu sudah semakin sore, dan sebentar lagi malam tiba. "Sebentar lagi kan gelap mending kita bikin tenda aja di sini, sekalian istirahat.". Ucapku.
- Chairil Anwar merupakan penyair terkemuka di Indonesia yang sudah menghasilkan 96 karya sastra, termasuk 70 puisi. Selain itu, namanya dikenal sebagai salah satu tokoh pemuda Indonesia yang ikut memperjuangkan kemerdekaan. Berbeda dari tokoh pemuda Indonesia lainnya, Chairil Anwar memiliki cara sendiri dalam memperjuangkan apa saja bentuk perjuangan Chairil Anwar? Baca juga Biografi Chairil Anwar, Si Binatang Jalang Berjuang menggunakan karya sastra Wujud dari perjuangan Chairil Anwar sebagai salah satu pejuang pemuda Indonesia adalah dengan menggunakan karya sejarah Indonesia, nama Chairil Anwar telah diakui sebagai sosok penulis puisi andal yang memulai karier di bidang sastra pada 1942. Karya sastra pertama yang ditulisnya bertajuk Nisan, yang terinspirasi dari wafatnya sang nenek. Setelah itu, pada 1943, Chairil Anwar mulai mengirimkan karya-karya puisinya ke majalah Pandji Pustaka untuk dipublikasikan. Namun, terkadang puisinya mendapat penolakan karena dianggap terlalu individualistis, salah satunya yang berjudul Aku. Padahal, pesan yang ingin Chairil Anwar sampaikan melalui puisi Aku adalah kegigihan dan semangat perjuangan untuk meraih kebebasan diri.
Tokohyang menadai periode sastra Angkatan 45 antara lain Chairil Anwar, Asrul Sani, Usmar Ismail, Idrus, Ida Nasution, Utuy Thtang Sontani, Balfas, J.E. Tutengkeng, dan Pramoedya Ananta Toer. Salah satu karya paling terkenal adalah puisi berjudul "Aku" karya Chairil Anwar.
› Opini›Chairil Anwar sebagai Kurir... Penerjemahan berarti juga pengalihmaknaan wacana dari satu sistem budaya ke sistem budaya lain. Hakikat kerja penerjemahan adalah satu upaya membangun jembatan antarbudaya dan antarbangsa, menerobos sekat bahasa. DIDIE ini kita peringati genap seratus tahun kelahiran Chairil Anwar. Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922, dan wafat di Jakarta, 28 April 1949, dalam usia 27 tahun. Namun, dalam usia semuda itu dan dalam masa puncak kreatif sekitar tujuh tahun saja, karya-karyanya amat berpengaruh dalam sejarah sastra tertera dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang” 1945, Chairil termasuk di antara para penyair yang menyatakan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia”. Melalui pergaulannya yang intens dengan “kebudayaan dunia”, Chairil antara lain membawa pengaruh sastra dunia modern ke dalam puisi-puisinya. Chairil juga memperkenalkan dan menerjemahkan sejumlah puisi dan prosa karya para sastrawan dunia masa itu dari berbagai bahasa—Belanda, Inggris, Jerman. Dalam hal ini, menyitir José Saramago, Chairil adalah “kurir sastra dunia”. Menurut Jassin dalam senarai yang dia susun di dalam bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 1956, antara 1942 dan 1949 Chairil setidaknya menghasilkan 70 puisi asli, 6 prosa esai asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, dan 4 prosa surat, cerpen, dan novela adalah pembelajar tekun yang membaca karya para penyair dunia sezaman dan pendahulunya, antara lain Jan Slauerhoff 1898-1936 dan Hendrik Marsman 1899-1940. Dia kemudian menerjemahkan, menyadur, menyitir, dan mendapatkan pengaruh dari apa-apa yang dibacanya yang kemudian memperkaya karya-karyanya “Hoppla!”, dia menegaskan pandangannya tentang sastra dunia modern yang menjadi inspirasinya. Chairil antara lain menulis, “Hopplaa! Melompatlah! Nyalakan api murni, api persaudaraan bangsa-bangsa yang tidak akan kunjung padam.” Chairil menyalakan “api persaudaraan bangsa-bangsa” itu melalui karya sastra yang dia sesungguhnya tak sekadar alih bahasa suatu teks, tetapi juga pengalihmaknaan wacana dari satu sistem budaya ke sistem budaya lain. Maka, kerja penerjemahan adalah upaya membangun jembatan antarbudaya dan antarbangsa dengan menerobos sekat bahasa. Lalu, bagaimanakah sumbangan Chairil terhadap sastra Indonesia sebagai penerjemah karya sastra?Menurut saya, sumbangan Chairil sungguh signifikan. Chairil, misalnya, orang pertama yang menerjemahkan ke bahasa Indonesia karya tiga pemenang Hadiah Nobel Sastra sezamannya. Mereka adalah John Steinbeck 1902-1962 lewat “Kena Gempur” dari “Raid”, dipublikasikan majalah Panca Raya, Februari 1947, lalu diterbitkan Balai Pustaka, 1951, André Gide 1869-1951 lewat “Pulang Dia si Anak Hilang” dari “Le retour de l’enfant prodigue”, disiarkan majalah Pustaka Rakyat, September 1948, dan Ernest Hemingway 1899-1961 lewat cerpen “Tempat yang Bersih dan Lampunya Terang” dari “A Clean and Well-Lighted Place”, dimuat majalah Internasional, Juli 1949.Gide memenangkan Nobel Sastra pada 1947. Hemingway kelak meraih Nobel Sastra pada 1954. Sementara, Steinbeck mendapatkan Nobel Sastra pada 1962. Ini menunjukkan pula ketajaman penilaian Chairil dalam memilih pengarang mana yang perlu puisiChairil juga menerjemahkan puisi-puisi karya para penyair terkemuka dunia, antara lain Multatuli, E. Du Perron, Rilke, Hsu Chih-Mo, Conrad Aiken, Auden, dan John satu puisi terjemahannya adalah “Huesca” yang diterjemahkan dari sebuah sajak terkenal John Cornford 1915-1936, penyair komunis Inggris yang gugur dalam Perang Sipil Spanyol. Puisi ini sesungguhnya tak diberi judul oleh penyairnya sendiri. Setelah kematian Cornford, puisi itu dikenal sebagai “To Margot Heinemann” dan disebut penyair Carol Rumens sebagai “salah satu puisi cinta paling menyentuh pada abad ke-20”.Terjemahan Chairil yang disiarkan kali pertama oleh majalah Gema Suasana pada Juni 1948 ini pernah dikritik karena dianggap tidak setia dengan teks aslinya. Namun, di sisi lain terjemahan itu dipandang indah serta membuka penafsiran dan makna puisi itu, Chairil menerjemahkan larik “Heart of the heartless world” sebagai “Jiwa di dunia yang hilang jiwa”. Di sini Chairil menerjemahkan kata “heart”, yang berarti “hati” atau “inti”, menjadi “jiwa” dan “heartless” yang bermakna “kejam” sebagai “hilang jiwa”.Larik pembuka sajak Cornford ini sesungguhnya kutipan kata-kata Karl Marx dalam pengantar Critique of Hegel’s Philosophy of Right 1843.Sementara, larik penutup yang berbunyi “Remember all the good you can/ Don’t forget my love” diterjemahkan sebagai “Ingatlah sebisamu segala yang baik/ Dan cintaku yang kekal”, alih-alih “Kenanglah segala kebaikan yang kau ingat/ Jangan lupakan cintaku”.Secara harfiah, terjemahan Chairil tersebut kurang tepat. Namun, dari perspektif lain, “kreativitas” Chairil dalam menafsirkan larik-larik itu dalam teks terjemahannya membuka nuansa puitis yang baru dan tajam dalam menggambarkan keputusasaan dan cinta yang pedih di tengah perang dan ancaman pandangan saya, terjemahan Chairil itu menjelma sebuah puisi tersendiri atau “karya baru” yang utuh dalam bahasa Indonesia. Menyitir kata-kata Chairil dalam sebuah pidato radio pada 1946, puisi terjemahan itu memenuhi syarat sebagai “puisi yang berarti” karena “mampu memadukan suasana, kehidupan, dan tokohnya”. Puisi terjemahan Chairil itu adalah “sebuah sajak yang menjadi”, yakni “suatu dunia” yang “diciptakan kembali oleh si penyair” yang dalam hal ini adalah “si penerjemah” dan berhasil “menyentuh” pembacanya.“A translator is a traitor,” ujar sebuah adagium terkenal. Dalam konteks tertentu, itu ada benarnya. Apa yang dilakukan Chairil Anwar sebagai penerjemah terhadap teks puisi John Cornford adalah contoh pengkhianatan yang indah—sebuah penafsiran yang mungkin tak sepenuhnya berhasil, tetapi dia mampu menyentuh kita sebagai pembaca. Mengutip Sapardi Djoko Damono, “Tak ada penerjemahan yang salah; yang ada adalah karya yang berhasil atau yang gagal menyentuh kita.”Terlepas dari segala kontroversi yang melingkupinya—termasuk dugaan dia pernah memplagiat sejumlah puisi pengarang asing—Chairil Anwar adalah kurir sastra dunia yang amat berjasa dalam memperkenalkan karya para sastrawan terkemuka dunia melalui hasil Kurnia, pengarang dan penerjemah, penulis buku Seni Penerjemahan Sastra Panduan, Gagasan, dan Pengalaman 2022. EditorMOHAMMAD HILMI FAIQ
Dari75 sajak asli dan 2 sajak saduran karya Chairil Anwar di dalam buku "Aku Ini Binatang Jalang" pilihan dijatuhkan pada karyanya yang ditulis BASASTRA Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 9 Nomor 2, Oktober 2021, P-ISSN 2302-6405, E-ISSN 2714-9765 213 pada tahun 1949 berjudul Derai-Derai Cemara sebab dinilai mampu menyoroti - Ada pengaruh politik yang kuat pada penulisan karya Angkatan 45. Perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia berpengaruh juga pada iklim sastra masa itu. Menurut Andri Wicaksono dalam Pengkajian Prosa Fiksi 2017, pandangan penulisan dalam bentuk karangan tampaknya kurang bebas bila dibandingkan dengan angkatan Pujangga Baru, sedangkan dalam isi, Angkatan 45 bercorak realistis, di mana isi lebih dipentingkan daripada bahasa. Berikut karya-karya sastra Angkatan 45 Goodreads Buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir karya Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Tiga Menguak Takdir 1950 karya Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin Karya sastra ini merupakan kumpulan syair dari Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin. Ketiga penyair tersebut mengungkapkan emosi dan perasaan dengan berbeda-beda. Namun masing-masing memiliki kesamaan mengenai suasana sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia. Ada puisi yang berkaitan dengan orang terdekat, masyarakat secara umum, bahkan pergulatan batin si penyair. Sajak Nisan karya Chairil Anwar Baca juga Struktur Fisik Puisi Karawang Bekasi dan Surat dari Ibu Sajak "Nisan" 1942 karya Chairil Anwar Sajak ini menggambarkan tentang kematian. Saat menulis sajak ini, Chairil mengungkapkan perasaan duka ketika neneknya meninggal. Namun bila dibaca oleh pembaca awam tahun 45 tanpa tahu konteksnya, rasa duka tersebut dapat menggambarkan rakyat Indonesia yang gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan. Goodreads Novel Surabaya karya Idrus Novel pendek Surabaya 1947 karya Idrus Novel ini menceritakan perjuangan memperebutkan kemerdekaan berlatar di Surabaya. Imajinasi yang digambarkan oleh Idrus lebih menekankan pada pertempuran dan pertumpahan darah. KumpulanCerita Rakyat Cerpen dan Puisi ANALISIS PUISI "DOA"KARYA CHAIRIL ANWAR Doa Tuhanku Dalam termenung Aku masih menyebut nama-Mu Biar susah sungguh Mengingat Kau penuh seluruh Caya-Mu panas suci Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi Tuhanku Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri asing Tuhanku Di Pintu-Mu aku mengetuk
Bacajuga: Penulis Cerpen Terkenal. Hingga saat ini, karya puisi Chairil Anwar sering dijadikan untuk lomba baca puisi loh! Menarik sekali ya sobat! Karya Chairil Anwar Lainnya: Deru Campur Debu (1949) Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1949) Derai-derai Cemara (1998) Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948) 2. W.S. Rendra
Zici9.
  • af11oyhol5.pages.dev/336
  • af11oyhol5.pages.dev/59
  • af11oyhol5.pages.dev/448
  • af11oyhol5.pages.dev/363
  • af11oyhol5.pages.dev/383
  • af11oyhol5.pages.dev/392
  • af11oyhol5.pages.dev/70
  • af11oyhol5.pages.dev/287
  • cerpen terkenal karya chairil anwar